Senin, 27 Juli 2009

Detik.Com Yang Menipu


Perkenalan saya dengan gawai komputer sebenarnya sudah lama, sejak kelas 2 SMA kira-kira tahun 1992. Saya masih ingat waktu itu kakak membeli komputer tipe 386 untuk keperluan skripsi. Jadi sebenarnya saya tidak Gaptek-gaptek amat dibanding dengan teman-teman sebaya ada yang mematikan komputer saja tidak tahu. Di kampus waktu itu tahun 1996 wabah internet sedang marak-maraknya. Tapi sungguh disayangkan kuliah internet di sana hanya dalam tataran teori saja, jadi saya belum kenal sama sekali dengan monster yang namanya internet.

Lulus kuliah tahun 1998, saya langsung bekerja tapi belum begitu akrab dengan internet karena saya bekerja di perpustakaan sebuah kantor pengacara yang mengutamakan dokumen asli bukan elektronik. Akhirnya saya memutuskan keluar setelah ada tawaran bekerja di sebuah portal informasi industri dot.com yang waktu itu menjamur.
Semangat dan gairah tersebut ada sejalan kenaikan saham industri dotcom seperti yahoo dan google di Nasdaq.

Pengalaman lucu tentang online pertama itu muncul di sini. Bayangkan sebuah perusahaan portal informasi ternyata bergerak dengan mekanisme manual. Perusahaan dimana saya bekerja mengaku dot.com tapi internet saja tidak online. Untuk bisa berinternet kita harus ke server induk, itupun bergantian. Begitu repot dan menyulitkan. Akhirnya kita desak manajemen agar semua gawai terpasang.

Sejak itu dibuatlah LAN dengan sistem peer to peer. Maklum karena kita semua masih Gaptek, bila mau internet semua berteriak, "Proxy-nya manaa ne?" Biasanya petugas IT langsung menyambungkan. Perlu diketahui petugas IT membatasi koneksi internet karena cukup mahal biaya pulsa waktu itu. Saat itu koneksi internet tidak setiap saat hanya pada waktu-waktu tertentu saja.

Oleh sebab itu kita harus menggunakan koneksi semaksimal mungkin. Akses pertama website yang saya buka adalah detik.com, itu atas anjuran staf IT, terbukti detik.com sangat cepat. Oleh sebab itu kami dulu menggunakan detik.com sebagai ukuran, apakah LAN ada koneksi internet-nya atau tidak? Tampilan website yang sederhana dan user friendly adalah yang sangat harus dijaga oleh detik.com. Bahkan kecepatan informasi dan kekuatan pers dot.com yang kental adalah yang ditiru perusahaan kami dari detik.com.

Ada cerita lucu tentang koneksi internet ini. Lantaran kenakalan saya untuk menggoda teman-teman, komputer yang saya gunakan bekerja saya simpan tampilan depan website detik.com dalam my document. Kemudian bila saya pergi, saya tampilkan tampilan itu seolah-olah online. Siapa nyana tindakan saya menimbulkan kehebohan. "Wah komputer mas Igoen on line terus, paling kuat," begitu kata teman-teman. Pimpinan pun geleng-geleng kepala dianggapnya saya membuat jaringan sendiri.

Setelah saya jelaskan bahwa itu hanya tampilan file yang tersimpan di komputer dan saya tunjukkan berita detik.com-nya juga sudah lama, barulah Pimpinan tersenyum dan mengerti. Akhirnya saya terlepas dari syakwasangka tersebut. Mulailah muncul istilah kasar itu..."Mas...ini bukan detik.com yang menipu itu kan?" Demikian kelakar mereka kepada saya. Pertanyaan nyeleneh menyindir itu selalu saya balas dengan senyum yang sinis. "Mmmh capek deehhh....."




oleh. Ilham Prisgunanto

Jumat, 17 Juli 2009

Mengapa Indonesia Dipilih Sebagai Medan Pertempuran Teroris?

Apakah di lubuk hati anda ada perasaan pembenaran, atau mengakui tindakan teroris adalah sesuatu yang wajar bila menyimak pemberitaan? Bila ada, berarti strategi dan taktik komunikasi jaringan teroris yang menyerang Indonesia sudah berhasil. Dapat dikatakan bahwa mereka berhasil mengarahkan pemikiran khalayak kepada suatu pembenaran yang masih dipertanyakan. Demikian kira-kira bila menyambung konsepsi agenda setting menurut Maxwell Mc Comb (McComb, 1995).

Dengan demikian terjawablah pertanyaan besar, mengapa jaringan teroris lebih memilih Indonesia sebagai wilayah medan perang aksi mereka? Faktor kunci adalah dari begitu ‘longgar’ dan penuh lubangnya sistem pemberitaan dan pers Indonesia. Tidak adanya ketegasan aturan perundang-undangan adalah ‘opsi’ dari mudahnya lahan publikasi dibeli karena masuk dalam ranah yang tak bertuan dan tak terkontrol.

Sisi ini jelas-jelas adalah target operasi nyata para pelaku teroris guna melancarkan aksi brutalnya. Menurut penelitian Marighella jelas disebutkan bahwa para teroris memiliki keperluan memanipulasi media massa guna melakukan kekerasan politis lewat kekuatan jalur ideologis. Jadi adalah sesuatu yang salah besar bila dikatakan, bahwa tujuan utama teroris hanya menyebarkan ‘ketakutan’ ke khalayak . Tujuan mereka lebih dari itu dan targetnya adalah lebih luas, yakni publikasi (konten) isi pemberitaan dan mengarah pada pembenaran yang selama dianggap remeh dan tidak terjamah sedikit juga oleh khalayak (1970).

Pada selanjutnya para pelaku teroris akan mengarahkan pemberitaan untuk lebih mengekspos terhadap sesuatu yang mereka sudah sengaja setting dan dibalut oleh kekuatan ideologi. Dengan demikian maka akan ada kekuatan untuk mengubah gambaran yang ada dibenak pemirsa, pembaca dan pendengar untuk memberikan penilaian pembenaran terhadap kekerasan suatu kisah ‘heroik’. Layaknya pengubahan aksi brutal dan kriminal perampok dan perompak menjadi sebuah kisah ‘Robin Hood’ si pembela rakyat kecil.

Ketakutan-ketakutan inilah yang disayangkan penulis tidak pernah ada dan dibicarakan secara terbuka oleh media massa kita saat ini. Padahal sudah sejak lama dan banyak literatur menyebutkan hal tersebut jauh-jauh hari, seperti buku TERRORISM: THREAT, REALITY, RESPON oleh Robert H Kupperman dan Darrell M Trent (California, 1979). Dalam hal ini penulis sengaja menampilkan literatur-literatur kuno guna menunjukkan bahwa riset-riset terdahulu tentang teroris sudah begitu memperhatikan arah strategi dan taktik komunikasi teroris ke media massa.

Bisa dikatakan bahwa, terdapat hubungan signifikan antara kerja teroris dengan media massa. Bahkan Walter Laqueur seorang ahli tentang masalah teroris ini menyatakan bahwa hubungan antara teroris dengan media bisa dikatakan bersahabat kental. Karena tindakan teroris tidak akan menjadi apa-apa dan berarti bila tidak dipublikasi secara besar-besaran oleh media massa (1979).

Masih ingat kita dengan episode teroris SLA dalam peristiwa penculikan Patricia Hearst pada Februari 1974. Para teroris diketahui kemudian menggunakan korban sebagai bentuk propaganda revolusi SLA. Waktu itu teroris meminta media sepenuhnya menyalurkan pesan-pesan mereka, baik melalui media rekam suara (radio) atau cetak (surat kabar). Efek yang ditimbulkan adalah publik akhirnya memandang tindakan penculikan itu sebagai peristiwa ‘heroik’, sehingga ada pembenaran yang berakhir kepada sikap sinistis kepada aparat yang dalam hal ini adalah kepolisian.

Demikian juga dengan kasus pada bulan November 1975 di Montoneros - Buenos Aires tentang kasus penculikan Direktur Mercedes Benz. Teroris waktu itu akhirnya melepaskan korban, setelah mereka meminta si korban mengiklankan di surat kabar Eropa, Washington dan Meksiko tentang imperialisme ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan multinasional di negara berkembang. Jadi jelas bahwa tujuan utama teroris dimana saja sama, yakni mendekati media massa dan berusaha untuk menguasai dan mengarahkan publikasi.

Teroris yang memanipulasi iklan dan media masssa mampu meningkatkan efektivitas serangannya. Karena lewat pesan-pesan tersebut gerak mereka menjadi lebih fokus pada kejadian spektakuler yang kemudian akan dijaga pesan-pesan isu khusus tersebut dengan menggunakan sistem repetisi (pengulangan) dan proses kultivasi (tayangan berulang-ulang) pada kerja media massa. Tujuan utamanya adalah efektivitas kekerasan dengan menciptakan emosi ketakutan ektrem Negara pada kelompok-kelompok yang memang ditargetkan. Dalam hal ini tentu kelompok target adalah para pengambil kebijakan yang masuk dalam struktur Pemerintahan, yakni; Presiden, para Menteri dan Jajaran Pejabat Negara. Selain itu juga publikasi teroris akan menggambarkan secara instan agar harapan pemirsa, pendengar dan pembaca membenarkan dan mempromosikan tindakan mereka secara tidak langsung guna memaklumi representasi perjuangan teroris.

Realisasi operasionalisasi simbol teroris akan begitu luas dan cepat menyebar lewat saluran media massa. Bahkan disinyalir lebih cepat menyebar daripada tindakan orientasi fisik mereka sendiri. Seperti kasus pengeboman di Bali, Jakarta dan Poso dan lain-lain, karena begitu ekstensifnya, maka secara maksimum publikasi teroris menjadi begitu cepat lewat cakupan televisi, radio dan surat kabar. Buktinya orang tidak akan membicarakan isu-isu seputar aksi teror bom, tetapi lebih kepada fanatisme dan ekstrim agama. Bila sedemikian adanya, maka sudah ada pengembangan isu yang menyeleweng. Hal inilah celah dalam komunikasi massa pesan yang dimungkinkan untuk digunakan oleh teroris untuk melakukan pembenaran.

Seperti dalam temuan-temuan penelitian sebelumnya, bahwa kelompok teroris cenderung untuk menunjukkan pada khalayak bahwa mereka begitu ‘lemah’. Apalagi dalam konfrontasi antar wajah di medan perang (perang terbuka) dengan aparat (polisi). Strategi dan taktik ini dimaksudkan untuk menarik simpatik guna pembentukkan rejim yang mungkin dapat menjadi potensi sebagai senjata mereka ke depan, bahkan pembentukkan Negara sekalipun. Sebab itu kemenangan yang ingin diperoleh oleh para teroris bukan kemenangan instan saat ini, melainkan nanti jauh ke depan.

Kegelisahan dan kegerahan aparat (Polisi) di lapangan terhadap awak jurnalis sudah ada sejak dulu. Robert L. Rabe asisten Kepala Kepolisian Metropolitan Washington dalam Kasus teror pembajakan sebuah gedung oleh Hanafi Muslim pada Maret 1977 di Washington menyebutkan bahwa awak jurnalis membuat laporan atas dasar sentimen pribadi, bukan pada fakta yang ada. Tindakan polisi dianggap sebagai ‘eksekutor’, karena tidak ada wawancara sama sekali kepada aparat dalam konfirmasi berita. Dengan alasan khalayak berhak tahu mereka menghalangi kerja polisi. Seperti yang ditulis oleh Yonah Alexander dalam Terrorism, Media and the Police (California, 1979).

Bila dirasakan sepertinya kejadian tersebut terulang lagi di Indonesia saat ini, terutama dalam kasus pengungkapan dan penangkapan teroris JI (Jamaah Islamiah). Ketika Polri sedang mengencarkan penyidikan kasus teroris ini, media massa banyak yang berkedudukan tidak menanggapi serius. Dianggapnya ini hanya sebuah kerja rutin saja dari petugas penegak hukum dan pembinaan keamanan belaka.

Celakanya pemuatan pemberitaan media massa malah membuat preseden buruk terhadap Polri, bahkan yang menakutkan lagi adalah terbukanya celah-celah pesan yang memang ditunggu oleh teroris. Sepertinya ada pembenaran kondisi masyarakat yang susah, tertekan dan miskin karena kenaikan BBM, pelaku yang orang baik-baik dan jauh dari kekerasan, sampai kepada gambaran tidak ada rasa penyesalan dari pihak keluarga. Tak jarang pemberitaan lebih mengarah kepada sentimen agama yang merupakan balutan ideologis yang sangat riskan disebutkan media massa. Hal ini menunjukkan ada pembalikkan dan ‘penjungkiran’ sikap khalayak. Apalagi ditambah dengan tindakan aparat yang tidak diekspos oleh media massa, sehingga khalayak tidak tahu apa saja usaha dari Pemerintah secara nyata terhadap teroris.

Memang pada banyak literatur sudah menyebutkan kesimpulan besar mengapa media massa sedemikian? Persoalan utamanya adalah semua tidak lepas dari kedudukan media massa adalah sebuah industri yang berdasarkan pada kompetisi profit. Sepi dan bangkrutnya media massa seperti di Indonesia saat ini memudahkan posisi teroris berperan sebagai aktor (bintang film), penulis skenario bahkan sutradara pemberitaan (1979:345).

Oleh sebab itu maka diperlukan sikap arif dan bijak dari pengelola media massa dalam iklim kebebasan pers (free press) sekarang ini. Perlu ditinjau lagi sistem komunikasi media massa (pers) Indonesia yang bebas dan bertanggungjawab, bukan malah ’kebablasan’. Dalam artian bagaimana pers secara bijak menggiring penonton, pendengar dan pembacanya untuk dewasa memandang suatu isi berita dalam semangat melek media (media literate). Diperlukan kerjasama nyata awak media massa dan aparat dalam memberantas teroris di ranah publik (ruang maya) adalah sesuatu yang mendesak saat ini. Di samping itu juga dipertanyakan peran Komisi Penyiaran Independen (KPI) dan Kementerian Komunikasi Informasi dalam upaya ikut memerangi teroris dari sisi pembinaan.

Bibliografi:
International Encyclopedia of Terrorism (1999). New Delhi: S. Chand & Company.

Kupperman, Robert H. and Darrell M. Trent (1979). Terrorism: threat, reality, response. California: Hoover Institution Press.

Marighella, Carlos (1979). Minimanual of the Urban Guerrilla. (Havana: Tricontinental, n.d.).

Mc Comb, Maxwell (1995). Agenda setting mass media. Belmont: Wadworth

Protess, David. L and Maxwell McCombs (eds.) (1994). Agenda Setting: readings on media public opinion, and Policymaking. New Jersey: Lawrence Erlbaum.

Tucker, H.H (eds.) (1988). Combating the terrorists: democratic responses to political violence. New York:Facts on File.

Alienasi Polisi Dalam Ranah Pers

Resensi Buku:
Judul: Komunikasi & Polisi: Dilengkapi Dengan Kasus-Kasus Mutakhir
Penulis : Ilham Prisgunanto
Penerbit : Prisani Cendekia
Tebal: vi + 156 halaman
ISBN: 978-979-19315-0-2

Harga : Rp. 42.000,- (belum ongkos kirim)
Peresensi: Siti Anisah, S.Hum





Begitu banyak berita yang memojokkan polisi, mulai dari kasus sikap netral polisi dalam politik, penyelewengan hukum hingga pada kekerasan yang dilakukan polisi. Memang semua itu adalah problematika klasik dalam penegakan hukum di seluruh dunia. Telah banyak literatur-literatur di Amerika dan Inggris dengan lugas membicarakan hal ini secara serius. Bahkan yang lebih menakutkan lagi adalah alienasi Polisi dalam pemberitaan pers yang menyebabkan terbatasnya ruang dan gerak dalam bekerja. Tentu saja hal ini akan sangat menganggu dalam upaya supremasi hukum yang menjadi syarat mutlak dalam pelaksanaan negara demokrasi yang pro rakyat.
Berlaku dan disahkannya Undang-Undang No. 2 tahun 2002 sebenarnya menandakan bahwa Polri sudah lepas dari TNI dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden untuk urusan penegakkan hukum dan pembinaan pengamanan. Hal ini merupakan babak baru dalam kehidupan bernegara bangsa Indonesia yang menjadikan Polisi sesungguhnya sebagai kekuatan ‘non combatan’ berperan mengayomi dan melindungi masyarakat sipil. Artinya bahwa polisi dikembalikan dalam bentuk aslinya, yaitu polisi sipil yang pro rakyat. Polisi adalah pasukan cerdas yang hanya tunduk kepada hukum dan keadilan bukan pada atasan. Adalah sesuatu yang salah apabila masih ada anggapan polisi adalah kekuatan yang pro penguasa dan selalu dekat dengan poros kekuasaan. Premis-premis sedemikian merupakan produk dari pandangan terhadap polisi yang militeristik dan penuh dengan klaim-klaim jiwa mengutamakan ‘la esprit de corps’ dalam pasukan yang tunduk pada sistem komando saja.
Bagaimana dengan sikap polisi? Apa yang ada di dalam diri dan perasaan mereka dalam memandang pers? Demikianlah buku ini ingin mengangkat dan mengungkap fakta sesungguhnya yang akan dilihat dari kacamata polisi. Inilah keunikan buku ini semua kasus dan permasalahan aktual dilihat dari kacamata yang berbeda dan berlawanan dari agenda pemberitaan pers yang sudah terlanjur menguasai ranah publik saat ini. Polisi adalah militer, identik dengan kekuasaan, korup, ‘mata duitan’, tidak mampu berbicara di depan publik dan masih banyak lagi. Demikianlah anggapan-anggapan ‘miring’ tentang polisi dalam pemahaman alam kognitif orang yang menguasai ranah publik saat ini. Polisi adalah mengerikan, menakutkan dan perlu dihindari. Ada istilah menggunakan polisi adalah ‘kerok’ karena akan menambah masalah bukan menyelesaikan. Jangan sekali-sekali bermain dan dekat dengan polisi. Posisi ini semakin membuat polisi terasing dan teralienasi dari masyarakat atas klaim-klaim keliru tersebut.
Agenda pemberitaan yang sedemikian akhirnya memojokkan gerak dan kerja polisi sebagai kekuatan penegakkan hukum. Polisi tidak dianggap penting dan hanya sebagai aparatus negara yang tidak penting. Genderang pemberitaan dalam konteks komunikasi begitu bernafsu menelanjangi, mengkritik dan mengkoreksi polisi habis-habisan dalam semangat komoditas pemberitaannya. Pers mengantarkan pembaca pada ‘jebakan’ isu-isu miring yang menjerumuskan polisi untuk kepentingan pribadinya. Alhasil apa yang terjadi, adalah semakin terpuruknya citra Polri di mata masyarakat dalam penanganan kasus. Bukti nyatanya ada satu kejadian dimana anggota polisi dipukuli warga ketika melakukan pengerebekan di tempat peredaran narkoba. Sungguh hal ini mengindikasikan negatif bahwa Polri tidak ada bedanya dengan ‘maling’. Sama juga dengan beredarnya film tentang kekerasan polisi di Palu yang menyentak kognitif masyarakat tentang begitu brutalnya polisi. Begitu menyedihkan dan mengenaskan melihat kenyataan tersebut.
Dari bab 1 buku ini sudah jelas dengan gamblang diangkat kasus pemberitaan di media massa yang begitu arogan dalam memberitakan polisi yang ada memojokkan Polri dan menyamakan dengan militer, dapat dilihat dari pemberitaan ledakan bom Bali yang lebih banyak menggunakan sumber militer daripada Polri sendiri (hal. 4). Apakah urusan dan tugas polisi hanya menyoal pertahanan dan keamanan dalam negeri saja? Demikian buku ini sepertinya ingin mengupas dan mengangkat isu-isu lokal sosial dan kemasyarakatan yang seharusnya diemban oleh polisi. Pada bab 2 buku ini diangkat isu-isu polisi dan bencana alam yang mengupas habis apa tugas dan fungsi polisi dalam bencana alam yang sesungguhnya? Tulisan yang terinspirasi dari Allen P. Bristow tentang Police Disaster begitu mengejutkan bahwa kenyataannya tingkat komando puncak (tertinggi) dalam penanganan bencana alam ada di polisi (hal. 6). Dengan demikian tidak perlu ada lagi ketakutan tentang kesemrawutan dan hilangnya hak-hak sipil pasca bencana alam (seperti kejadian pasca tsunami NAD Aceh Nias 4 tahun lalu).
Buku ini dengan cerdas melalui kepekaan penulis memprediksikan tentang Komunikasi politik Indonesia pasca pemilu 2004 (Pemilu langsung). Penulis dengan kemampuan komunikasi yang mumpuni mampu menarik persoalan krusial retorika dan membuat kajian teoritik baru menyoal pesan dan sosok (hal. 31). Pesan dan sosok adalah dua unsur yang bermain dan berperan penting dalam mengarahkan voter dan masyarakat dalam memilih dan menggambarkan tentang seorang calon (Calon presiden, wakil presiden dan legislatif). Dengan lugas penulis menyebutkan bahwa sosok yang membawa nuansa kelokalan begitu kental, sehingga mampu dengan mudah mengarahkan orang untuk berbenturan satu dengan yang lain. Potensi konflik inilah yang seharusnya ditanggapi dengan serius oleh Polri dalam penanganan pengamanan Pemilu langsung (hal.41).
Di samping itu buku ini juga memiliki kemampuan analisis yang tajam dalam menanggapi kasus-kasus yang bertaraf internasional, yakni kejahatan transnasional tentang terorisme. Pada Bab 10 tentang Mengapa Indonesia Dipilih Sebagai Medan Pertempuran Teroris? Dengan gamblang menyebutkan bahwa teroris di dunia ini begitu terbantu dengan adanya publikasi besar-besaran dari media massa (pers) (hal. 59). Kerap pers memfasilitasi dan melebih-lebihkan tindakan teroris sehingga terkesan berpihak kepada pihak teroris. Kerja pers yang menghalang-halangi polisi dan klaim-klaim pemberitaan yang memojokkan Polri demikian menganggu dalam pelaksanaan tugas di lapangan. Penulis menganalisi Kegerahan Polri terhadap sikap pers ini juga mengikuti pemahaman Robert H. Kupperman dan Darrell M. Trent dalam buku Terrorism: Threat, Reality, Respon (California, 1979) (hal.60).
Kasus-kasus terorisme tidak hanya bom tetapi juga yang lebih besar seperti penculikan Direktur Perusahaan Transnasional dan pemboikotan fasilitas umum. Solusi yang Penulis berikan sesuai dengan semangat kebebasan pers (free press) tidak memberikan penekanan dan intimidasi kepada pers dan jajaran redaksi, melainkan menyerahkan semua kepada sikap arif dan bijak pers juga awak jurnalis untuk mendewasakan khalayak bukan membodohi dan menghalang-halangi berita. Sebab memang tanggungjawab yang besar Pers dan Pemerintah adalah sama melek terhadap media massa dan membuat masyarakat bijak dalam mengkonsumsi dan memilih sumber informasi terpercaya.
Kemampuan buku ini melompat-lompat dan terkadang memihak polisi, kadang tidak memihak bahkan terkadang netral terlihat jelas sekali. Penulis dengan cerdas mampu melakukan itu dan jelas ini memerlukan kemampuan berpikir yang sistematis dan kepekaan luar biasa dalam melihat masalah dari kacamata komunikasi. Lihat saja dalam tulisannya di bab 8 yang membicarakan Tindakan Menyimpang & Stress Pada Polisi (hal. 49). Penulis menyebutkan bahwa buruknya sikap polisi tidak lepas dari dua masalah sesuai dengan teoritik yang diambil Roberg dan Kuykendall (California, 1993), yakni; teori kecenderungan (Predispositional theory) dan teori sosialisasi (Socialization theory). Teori kecenderungan menganggap sikap polisi sedemikian karena memang sudah sifat dasar anggota sedemikian dan tidak bisa diubah. Berbeda dengan itu teori sosialisasi menyebutkan bahwa sikap itu terbentuk dari hasil interaksi antar anggota Polri, baik dalam pergaulan sekitar, maupun antar teman sejawat. Titik kunci adalah penyaringan pendidikan awal polisi merupakan titik kunci munculnya sikap menyimpang ini dan stress pada polisi.
Tidak berpihaknya penulis pada polisi juga terlihat dalam pembahasan bab 11 tentang Kontroversi Pemberantasan Kejahatan Judi (hal. 65). Dengan berani penulis menyatakan bahwa pemberantasan kejahatan judi merupakan sesuatu yang sulit karena menyoal permasalahan yang lebih besar, yakni masalah pertarungan budaya. Oleh sebab itu sulit untuk membasmi judi yang sudah mengakar dan merasuk dalam tata kultur masyarakat Indonesia sejak dahulu. Tentu saja polisi harus hati-hati menangani masalah ini karena bisa menjadi bumerang memperburuk citra bila tidak dilakukan secara tegas dan serius. Demikian juga bila dilihat dari pembahasan Polmas dalam bab 14 tentang Perpolisian Masyarakat, Citra dan Public Relations, yang menyebutkan bahwa program Polmas yang dijalankan Polri masih minim unsur komunikasi didalamnya. Alhasil program tersebut menjadi sulit diterapkan karena modal Polmas adalah berinteraksi dengan masyarakat secara luwes yang akan meningkatkan citra Polri sendiri.
Guna memberikan posisi netral penulis mengajukan analisis akademik penelitian (riset) yang menjawab secara obyektif dan tidak berat sebelah. Lihat saja pada Bab 13 yang membahas Pilkada Mengapa Rusuh? Penelitian kuantitatif dengan pendekatan analisis isi pemberitaan model konvensional ini diajukan penulis dengan hasil akhir yang cukup mengejutkan, bahwa narasumber dan keberpihakan pemberitaan tidak seimbang bahkan menyudutkan kerja dari KPU/KPUD/Panwaslu dan Polisi sendiri dalam pelaksanaan dan pengamanan. Inilah yang bisa membuat preseden buruk bahwa Pilkada pasti rusuh dengan klaim-klaim negatif terhadap pihak-pihak pelaksana dan penyelenggara Pilkada.
Satu yang paling menarik dalam buku ini yang menunjukkan tradisi keilmuan komunikasi sesungguhnya adalah adanya riset sempurna Agenda Setting model Maxwell Mc Comb dan Newbold yang pernah ‘booming’ era tahun 1980-an hingga dekade 1990-an. Riset serius dalam model kuantitatif ini diajukan penulis yang menunjukkan begitu mumpuninya penulis dalam bidang komunikasi yang berangkat dari tradisi positivistik dalam ranah mazhab behavioristik (hal.133). Kemampuan penulis sebagai seorang kandidat doktor dan pengajar tetap komunikasi sosial di perguruan tinggi ilmu kepolisian sudah teruji dengan ditunjukan begitu terampilnya membuat instrumen desain riset yang ketat dan taat asas sesuai kaidah-kaidah akademik keilmuan komunikasi dasar.
Pemaparan riset komunikasi agenda setting yang begitu ketat dan sarat obyektivitas ini merupakan hal yang berani dalam upaya mencari realitas sesungguhnya bagaimana kerja Polri apakah sudah benar atau tidak? Pemilihan sampel dari Divisi Humas Polri dengan disandingkan dengan masyarakat Jakarta, Bandung dan Depok adalah sesuatu yang spektakuler karena diketahui Bandung dan Depok adalah daerah dianggap penuh dengan kantong-kantong basis kekuatan dan pelaku teroris. Hasilnya ternyata, masyarakat sudah sepakat teroris adalah kejahatan dan perlu diperangi yang sesuai dengan pendapat dari Divisi Humas Mabes Polri. Dengan demikian Mabes Polri sudah melakukan tugasnya dengan baik dan sesuai mengarahkan pandangan masyarakat terhadap kejahatan terorisme.
Sesuai dengan pepatah tiada gading yang tak retak, buku ini memang masih jauh dari sempurna. Hal ini terlihat dari buku ini begitu syarat dengan nilai akademis dan keilmuan, sehingga cukup sulit untuk pembaca awam memahami kasus-kasus mutakhir polisi bila tidak pernah mengikuti dan tahu ilmu kepolisian dan perkembangan terbaru. Oleh sebab itu buku ini sangat cocok untuk mereka calon sarjana ilmu kepolisian, atau mereka yang minimal sudah pernah bertugas di lapangan. Meski tulisannya cukup populis dan enak dibaca tetapi bobot muatan nilai bacaan begitu berat.
Hal lain yang perlu dicermati adalah, rujukan penulisan buku ini terlalu banyak mengambil dari literatur-literatur Amerika Serikat dan Inggris yang diketahui tidak bersistem polisi nasional, melainkan departemen. Pemahaman sistem desentralisasi ini tentu saja menjiwai pula perspektif keilmuan studi kepolisian yang ada. Seperti kita ketahui sistem sentralisasi dan desentralisasi sangat berbeda, sehingga buku ini terkadang terlalu bombastis dan tidak membumi dan hanya sesuai pada sistem desentralisasi. Seharusnya penulis buku ini berkiblat pada literatur-literatur polisi Jepang yang bersistem polisi nasional (National Police) seperti Indonesia. Seperti yang dilakukan dalam pengembangan Koban-Koban dalam sistem Perpolisian Masyarakat.