Minggu, 04 September 2011

Jebakan Retorika Politik

Oleh Ilham Prisgunanto

Rabu, 5 Nopember 2008

Jika Anda merasa yakin presiden terpilih Amerika Serikat (AS) dalam Pemilu Presiden AS adalah Barack Obama, berarti Anda sudah terjebak dalam retorika politik semu yang menyesatkan. Saat ini lonceng kemenangan Obama seolah-olah sudah dibunyikan dan pers adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas "gaung kemenangan" Obama. Jelas, hal ini merupakan beban mental yang teramat berat bagi Obama dan tim suksesnya apabila ia kalah dalam Pemilu AS.Tentu saja, kekalahan harus ditanggapi sportif dan berhati besar. Jangan malah bermusuhan atau tidak bertegur sapa seperti politisi di Indonesia saat ini. 
 
Dari hasil perhitungan akhir jajak terhadap orang yang menyaksikan debat pendapat kedua kandidat, CNN menyebutkan Barack Obama mendapatkan 58 persen suara dan John McCain hanya 31 persen. Jajak pendapat CBS menunjukkan Obama memperoleh 53 persen dan McCain 22 persen suara, sedangkan jajak pendapat New York Times-CBS memperlihatkan, Obama secara nasional menang 53 persen melawan McCain yang hanya 39 persen. Tapi, semua itu hanyalah sebuah hasil jajak pendapat yang masih penuh bias dan bisa salah dalam instrumen riset. Kita akan ingat hasil jajak pendapat yang menyebutkan Megawati lebih diidamkan daripada Susilo Bambang Yudhoyono sebelum pemilu. Namun, ternyata dalam Pemilu 2004 Megawati kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono.

Pers AS memiliki agenda tersendiri di balik kepentingan dalam perolehan pendapatan iklan dari kocek kandidat. Sepintas, mungkin kita akan teringat pada ketersinggungan pers AS atas campur tangan George W Bush selaku Presiden AS terhadap pemberitaan sepihak Perang Irak beberapa waktu lalu. Ketersinggungan itu meledak saat ini dan dilimpahkan kepada McCain yang dianggap sebagai pemegang tongkat estafet kepemimpinan George Bush. Apabila ia menang, dikhawatirkan akan membuat kekeliruan kebijakan serupa, yaitu defisit berkepanjangan dan angka pengangguran yang tinggi.

Sentimen negatif banyak yang menyebutkan bahwa kampanye Obama penuh dengan bias selebriti layaknya Britney Spears, J-Lo, dan selebriti kacangan lain. Tapi, apakah McCain lupa? AS saat ini sedang terpuruk dan perlu dibuai dalam alam dongeng yang penuh khayalan. Barack Obama yang ganteng, terpelajar, dan energik serta penuh percaya diri adalah sosok yang bisa hadir sebagai representasi anak muda yang menginginkan perubahan. Ia menjadi selebriti, itu wajar. Mengapa McCain tidak mengikuti hal itu sebelum semuanya terlambat?
 
Salah satu modal agar menang dalam retorika politik adalah menjadi populer dan sosoknya dikenal orang banyak melalui media massa, seperti seorang selebriti. Tak mengherankan kalau modal inilah yang menyebabkan selebriti tergiur untuk ikut bertarung dalam politik (pemilu atau pilkada) karena mereka merasa sudah memiliki popularitas. Retorika politik memerlukan sosok dalam popularitas media massa sebagai etalase (daya tarik pemikat) yang dijual kepada calon pemilih (voter). Terkadang isi pesan dalam retorika politik tidak diperhitungkan. Pemilih hanya tertarik pada etalase popularitas selebriti, bukan pada pesan politiknya. Tak mengherankan kalau jarang orang tahu sepenuhnya program kerja yang ditawarkan kandidat yang sedang bertarung.
Apakah retorika politik memerlukan rasionalitas dalam persuasi atau hanya permainan perasaan (emosi) dan keindahan kata-kata saja? Dalam tulisan Bruce E Gronbeck tentang retorics and politics dalam Handbook of Political Communication Research, Lynda Lee Kaid (ed) (New Jersey: Lawrence Erlbaum, 2004) disebutkan, Corax (467 SM), ahli retorika dari Sicilia, dan Isocrates (436-338 SM) dengan jelas menyebutkan bahwa retorika politik sangat memerlukan unsur rasionalitas dalam persuasi. Berbeda dengan itu, Plato (427-347 SM) menyatakan, retorika bertujuan mengembalikan kejayaan kerajaan Athena yang penuh reduksi dan nilai doxa (kebijaksanaan) di dalamnya. Retorika adalah sarana komunikasi yang hyperemotional dalam politik.
 
Bahwa paradigma retorika hanyalah sebuah sarana komunikasi hyperemotional tampaknya sudah terjadi saat ini. Retorika menyihir dan mengarahkan pikiran dan sikap orang. Seperti Obama yang menyihir dalam koridor bias selebriti sehingga orang banyak membenarkan semua perkataannya tanpa alasan dan argumen rasionalitas. Sementara itu, McCain lebih sibuk berbicara dalam konteks retorika politik yang penuh rasionalitas dan persuasi apabila dihubungkan dengan kebijakan Presiden AS terdahulu. Namun sayang, hal itu saat ini tidak diperlukan lagi oleh masyarakat AS. Pemilih sudah telanjur "jatuh cinta" pada sosok Obama melalui jebakan retorika politik.
Kesadaran akan penciptaan jebakan retorika politik ini membuat McCain berstrategi untuk mencuatkan isu-isu sensitif yang ada di masyarakat AS guna memberikan pembenaran tanpa argumentasi dan rasionalitas.

Jebakan-jebakan retorika politik itu sayangnya dikemas dalam pesan yang tidak siap, mentah, dan cenderung berisi sentimen pribadi daripada patriotisme kenegaraan AS. Akibatnya, pemilih di AS tetap menganggap itu semua adalah kampanye hitam yang menyesatkan. Pemilih bukanlah pihak yang bodoh. Mereka bisa menilai, memilih, dan merasakan, berangkat dari pembelajaran akan dunia politik. Mereka akan tetap mencari isu-isu komunikasi kunci yang dapat memuaskan dan membawa mereka ke alam fantasi yang berbeda dengan kondisi saat ini. Tapi, bagaimanapun, strategi jebakan-jebakan retorika politik kandidat McCain tidak dapat dianggap remeh dan masih berpotensi kuat mengubah wajah dalam Pemilu AS.
Fenomena tidak siap mengemas pesan politik dalam jebakan retorika politik di AS ini seharusnya dipahami para politisi, kandidat presiden, dan legislatif di Indonesia. Jika sudah dipahami, tidak akan ada lagi retorika politik di Indonesia yang kaku dengan tata bahasa terbatas, seperti komandan berbicara dengan pasukan.

Jangan ada lagi wajah-wajah kandidat dalam poster, selebaran, dan iklan politik terlihat kaku dan tanpa emosi, yang penuh riasan wajah dan dangkal dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Jadi, jangan katakan retorika politik hanya memerlukan rasionalitas dan persuasi yang tidak melibatkan emosi dan talenta diri saja.***

(sumber http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=213117)