Rabu, 5 Nopember 2008
Jika Anda merasa yakin presiden terpilih Amerika Serikat (AS) dalam Pemilu Presiden AS adalah Barack Obama, berarti Anda sudah terjebak dalam retorika politik semu yang menyesatkan. Saat ini lonceng kemenangan Obama seolah-olah sudah dibunyikan dan pers adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas "gaung kemenangan" Obama. Jelas, hal ini merupakan beban mental yang teramat berat bagi Obama dan tim suksesnya apabila ia kalah dalam Pemilu AS.Tentu saja, kekalahan harus ditanggapi sportif dan berhati besar. Jangan malah bermusuhan atau tidak bertegur sapa seperti politisi di Indonesia saat ini.
Pers AS memiliki agenda tersendiri di balik kepentingan dalam perolehan pendapatan iklan dari kocek kandidat. Sepintas, mungkin kita akan teringat pada ketersinggungan pers AS atas campur tangan George W Bush selaku Presiden AS terhadap pemberitaan sepihak Perang Irak beberapa waktu lalu. Ketersinggungan itu meledak saat ini dan dilimpahkan kepada McCain yang dianggap sebagai pemegang tongkat estafet kepemimpinan George Bush. Apabila ia menang, dikhawatirkan akan membuat kekeliruan kebijakan serupa, yaitu defisit berkepanjangan dan angka pengangguran yang tinggi.
Sentimen negatif banyak yang menyebutkan bahwa kampanye Obama penuh dengan bias selebriti layaknya Britney Spears, J-Lo, dan selebriti kacangan lain. Tapi, apakah McCain lupa? AS saat ini sedang terpuruk dan perlu dibuai dalam alam dongeng yang penuh khayalan. Barack Obama yang ganteng, terpelajar, dan energik serta penuh percaya diri adalah sosok yang bisa hadir sebagai representasi anak muda yang menginginkan perubahan. Ia menjadi selebriti, itu wajar. Mengapa McCain tidak mengikuti hal itu sebelum semuanya terlambat?
Jebakan-jebakan retorika politik itu sayangnya dikemas dalam pesan yang tidak siap, mentah, dan cenderung berisi sentimen pribadi daripada patriotisme kenegaraan AS. Akibatnya, pemilih di AS tetap menganggap itu semua adalah kampanye hitam yang menyesatkan. Pemilih bukanlah pihak yang bodoh. Mereka bisa menilai, memilih, dan merasakan, berangkat dari pembelajaran akan dunia politik. Mereka akan tetap mencari isu-isu komunikasi kunci yang dapat memuaskan dan membawa mereka ke alam fantasi yang berbeda dengan kondisi saat ini. Tapi, bagaimanapun, strategi jebakan-jebakan retorika politik kandidat McCain tidak dapat dianggap remeh dan masih berpotensi kuat mengubah wajah dalam Pemilu AS. Fenomena tidak siap mengemas pesan politik dalam jebakan retorika politik di AS ini seharusnya dipahami para politisi, kandidat presiden, dan legislatif di Indonesia. Jika sudah dipahami, tidak akan ada lagi retorika politik di Indonesia yang kaku dengan tata bahasa terbatas, seperti komandan berbicara dengan pasukan.
Jangan ada lagi wajah-wajah kandidat dalam poster, selebaran, dan iklan politik terlihat kaku dan tanpa emosi, yang penuh riasan wajah dan dangkal dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Jadi, jangan katakan retorika politik hanya memerlukan rasionalitas dan persuasi yang tidak melibatkan emosi dan talenta diri saja.***
(sumber http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=213117)