Kamis, 01 Agustus 2013

KOLONIALISASI PENDIDIKAN

Apakah pengajar adalah pihak yang paling menentukan keberhasilan dalam proses ajar mengajar? Demikianlah pertanyaan mudah yang menjadi bahasan tulisan ini. Logika mudahnya pendidik adalah faktor penentu dalam mengajar. Pandangan yang sedemikian itu masuk dalam pandangan konvensional yang memandang bahwa guru adalah segalanya dan menjadi faktor penentu dalam proses ajar mengajar. Guru adalah kontrol kendali pendidikan dan semua tergantung pada perannya yang sentral dalam operasi kerja pendidikan. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa dalam porsinya guru bertindak sebagai subyek, sebaliknya peserta didik hanya berkedudukan sebagai obyek. Tak heran pada akhirnya hubungan guru dan peserta didik sedemikian monotomik, bukan diakromik dalam membangun konstruksi hubungan komunikasi yang sesungguhnya dalam pendidikan. Dari sinilah muncul pola didik yang otoriter dan semua itu tergantung pada si pendidik, sementara peserta didik hanya duduk manis, pasif dengan jiwa pasrah dan terbuka menerima pelajaran dari si pendidik. Kedudukannya tentu saja dapat ditebak bahwa pendidik lebih tinggi dari peserta didiknya. Tidak ada kebebasan dan keleluasaan peserta didik, menjadikan mereka sebagai jiwa-jiwa yang terkekang dan terbelenggu pada sistem yang dibangun oleh si pendidik. Dari sinilah muncul rasa tertekan dan pembatasan pada ruang kreatif peserta didik dalam bahasa yang lebih ekstrim adalah mereka terjajah dalam konteks kolonialisasi pendidikan. Pemahaman yang ada adalah bersekolah itu berarti tunduk dan patuh pada aturan dan siap untuk terbelenggu oleh aturan sistem pola ajar si pendidik, bahkan aturan sekolah itu baik yang tertulis, maupun tidak. Tak heran bila mendengar seseorang melanjutkan pendidikan, berarti dia siap untuk menerima diri terkekang oleh segala tata aturan yang diciptakan oleh si pendidik dan institusi pendidikan itu. Bayangkan bila pendidiknya ada 10 orang berarti dia harus mengikuti 10 aturan si pendidik dengan segala bentuk dan model aturan yang berbeda satu sama lain menurut keinginan pendidik itu masing-masing. Inilah salah satu kendala orang melanjutkan pendidikan sampai ke tingkat pasca sarjana dalam praktik dalam kehidupan nyata. Dalam artian mudahnya sudah bayar biaya mahal, mereka juga harus menerima diri tertekan dan menjadi obyek bukan subyek dalam proses pendidikan. Sedemikianlah cermin buruk pendidikan di Indonesia yang tetap saja masih subur penerapan pola kolonialisasi di bangku-bangku pendidikan. Padahal jelas bahwa pendidikan adalah kunci orang untuk terbebas dari praktik kolonialisme dan keterkekangan atas hak dasar mereka sebagai manusia. Ketika pendidikan sebagai benteng terakhir perlawanan kolonial sudah tidak ada, maka darimana lagi praktik kolonialisme itu dilawan? Jelas menjadi jiwa-jiwa yang unggul, bebas atas hak-hak dasar adalah harapan terbesar seorang manusia. Harapan peserta didik adalah menjadi sesuatu yang berarti bagi dunia, berguna, terpelajar dan didengar pendapatnya oleh masyarakat. Diakui bahwa semua itu hanya bisa diraih dengan kepemilikan ilmu pengetahuan (*baca sains) yang mumpuni. Alhasil jangan bermimpi memiliki itu semua bila tidak bersekolah atau menuntut ilmu, karena semua itu hanya bisa diraih dari proses ajar mengajar. Maka benarlah pepatah yang mengatakan, pendidikan itu adalah sebuah investasi jangka panjang dan ilmu pengetahuan adalah modal terbesar manusia ketika berusaha memaknai arti sebuah kehidupan dalam artian upaya mengeksplorasi. Bila melihat begitu adiluhungnya pendidikan juga peran besar pendidik, semakin meyakinkan kita bahwa peserta didik adalah obyek, bukan subyek dalam pendidikan. Perspektif inilah yang bisa menjelaskan pemahaman bahwa peserta didik dapat dianggap sebagai layaknya komoditas dalam proses ajar mengajar. Peserta didik adalah layaknya pengikut (*baca follower) seperti dalam sebuah sosial media jejaringan internet. Suara mereka dapat dibeli dan dikuasai, seperti logika jual beli dalam transaksi perdagangan. Pendidik adalah makelar penjual suara 'bak' pengembala yang mengarahkan peserta didik untuk mau ikut dan menuruti keinginan mereka yang sudah terjual oleh partai politik. Tentu saja peserta didik akan turut dan mengikuti pendidik karena mereka adalah jiwa-jiwa terkekang dan harus tunduk pada aturan pendidik, bila mau lulus dan mendapatkan nilai yang gemilang. Proses sedemikian dalam proses ajar mengajar hanya akan menghasilkan produk-produk robot-robot tak bernyawa yang hanya bekerja bila ada perintah dan instruksi dari atasan, tidak ada inisiatif dan kepekaan atas emosi dengan lingkungan setempat. Tak heran akhirnya subur model kehidupan individualis pada peserta didik yang berakhir kepada perasaan mau menang sendiri, apatis dengan lingkungan dan tidak mau berbaur dan kesombongan yang berlebihan seperti yang marak terjadi saat ini. Kolonialisme Pendidikan di Era Digital Di zaman sekarang ini mungkin masih ada yang memiliki perspektif bahwa peserta didik adalah obyek, namun penulis akui bahwa pemilik perspektif itu akan tergilas oleh zaman. Pasalnya kemajuan teknologi informasi yang sedemikian pesat menjadikan proses belajar mengajar menjadi mudah dengan kehadiran jejaringan internet yang memungkinkan proses ajar mengajar di luar kelas terjadi dengan cepat. Kehadiran dunia digital saat ini jelas mengritik habis-habisan pola ajar konvensional yang penuh praktik penindasan dan pemaksaan dengan titik sentral penyebab adalah pendidik yang otoriter yang dominan dalam konteks kolonialisme pendidikan. Tak heran tren di dunia digital adalah dengan menafikkan jenjang gelar dan pendidikan, mereka lebih memandang pada profesionalisme dan kemampuan potensi diri. Era digital diisi oleh mereka yang 'urakan' , tidak berpendidikan formal dan hanya mengandalkan pada kemampuan diri saja. Meski pada selanjutnya terjadi pergeseran, orang tidak ekstrim menerima pola pendidikan seperti disebutkan di atas dengan kehadiran jejaringan internet, namun juga tidak menolak sepenuhnya karena ada beberapa pergeseran yang masuk akal bisa diterapkan. Lihatlah saja fenomena saat ini, dimana jejaringan internet sedemikian mudah didapat dan diakses dengan berbagai gawai, kapan saja dan dimana saja dengan harga murah, maka akan didapati peserta didik yang tidak harus duduk manis dan mendengar sang pendidik dengan kekaguman. Malah saat ini sebaliknya mereka duduk dengan penuh kegelisahan dan kecurigaan dalam diri. Kegelisahan yang ada adalah perasaan apakah mereka sedang didoktrinasi si pendidik? Juga kecurigaannya adalah perasaan, apakah pendidik keliru dalam memberikan mata pelajaran? Ketika usai kelas mereka akan merawak jejaringan internet dan mencek ulang semua pelajaran yang diberikan si pendidik dengan detail dan komprehensif di jejarungan internet. Lebih lanjut peserta didik akan mendiskusikan dan berbagi informasi antar mereka melalui sosial media jejaringan internet juga penentuan sikap mereka terhadap sang pendidik yang bisa mereka kategorikan, sebagai pihak yang otoriter, tukang pilih kasih, pembohong, mudah marah, pendongeng dan gaptek (*baca Gagap Teknologi) dan lain-lain. Bila kategori itu masuk bagi si pendidik, maka kehadiran si pendidik akan ditanggapi dingin, tidak penting dan peserta didik hanya duduk diam di kelas hanya untuk menghabiskan waktu guna syarat kelulusan dan keperluan mendapatkan ijasah aja diakhir pengajaran. Peserta didik tidak mendapatkan apa-apa dalam proses pendidikan dan yang terasah hanya kepekaan lingkungan dan fleksibilitas memahami orang lain. Mereka akan belajar bagaimana cara berpura-pura di depan orang lain, berdramaturgis dalam bertindak dan bermuka dua karena memang itulah yang mereka pelajari selama di bangku sekolah. Kekerasan hati dan keinginan meletup-letup adalah sebuah kenistaan dan haram untuk dimiliki peserta didik. Tak heran bila akhirnya sangat sulit mencari orang yang sedemikian ambisi, keras hati dan penuh keyakinan untuk melakukan perubahan, karena semua rasa itu sudah dibuang jauh ketika mereka masih di bangku pendidikan. Padahal jelas dalam konteks komunikasi meminjam konsepsi Cybernetika Shannon dipahami bahwa komunikasi yang baik, efektif dan efisien adalah adanya kesejajaran antara komunikator dan komunikan, dengan tidak menafikkan noise (*baca gangguan) yang ada (Littlejohn dan Foss, 2008:48). Kesejajaran inilah kunci utama untuk mengatasi problematika besar komunikasi pendidikan. Dengan penerapan kesetaraan dalam praktik komunikasi pendidikan akan menimbulkan keterbukaan dan keintiman antara satu dengan yang lain. Tentu saja si pendidik harus terlebih dahulu membuka diri dengan berpenampilan danj bergaya yang sesuai dengan gambaran pendidik di kepala peserta didik. Si pendidik harus memahami bahasa non verbal, tidak hanya melulu verbal karena dipahami menurut Devito bahwa keberhasilan sebuah komunikasi diawali dari 5 menit pertama saat bertemu antara komunikator dan komunikan dalam tatap wajah (De Vito, 2009 : 28). Di sinilah benang merah keberhasilan dari proses ajar mengajar yang intinya adalah kesetaraan dan kesamaan kedudukan antara si pendidik dan peserta didik. Jangan sampai media massa malah membuka jurang pemisah antara keduanya, bukan berusaha mendekatkan antara satu dengan yang lain. Pemberitaan tentang pendidik yang berkuasa mengarahkan peserta didik untuk mengakui itu dan pembenaran akan pendapat bahwa pendidik adalah berkuasa atas peserta didik. Mudah-mudahan praktik kolonialisme pendidikan ini sudah mulai pudar dan terkikis untuk Negara Republik Indonesia dalam artian merdeka seutuhnya. *Penulis adalah Staf Pengajar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur (di muat di surat Kabar Satelit News/Group Rakyat Merdeka) Bibliografi "Guru Jangan Ditarik Berpolitik," Koran Jakarta, 2/7/2013. Littlejohn, Stephen. W and Karen A. Foss (2008). Theories of Human Communication (9th Edition). Belmont: Wadsworth. De Vito, Joseph A (2009). The Interpersonal Communication Book. 12th (international) edition. Boston: Pearson Education.

Rabu, 01 Mei 2013

Ibu Masuk rumah sakit

Ibu Masuk Rumah sakit karena gula darah tinggi...ini proses mau transfusi darah karena trombositnya drop....tanda tangan kesediaan transfusi darah

Alat yang ada di samping ibu...berisik sekali hehehe

Rabu, 13 Februari 2013

Enviromental Issues and Local Wisdom in Children National Film Indonesia (Framing analysis Film “Berandalan-Berandalan Ciliwung”)


by. Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si
Film is social live potraits because this medium always explores people customary habit. Children are treated as a special audience because of their lack of maturation and experience. Just people knows that child audience give argues by theirself for film. This Research focus for to know media agenda children national film in Indonesia. to explore any content of film this research use mass media communication theories like content analysis and agenda setting mass media Maxwell Mc Combs. the Methodology of this research use framing analysis Gamson and Modigliani models. Framing analysis exposes implisit meaning content in any scene in film. Researcher make efforts understanding film maker argumen for enviromental and local wisdom issues in this film.
    
Finding of research make knows thant any missunderstanding film maker to presented peservation issues in any scenes. There is no cause and effect logic for content of film. In the other hand this film would to make any conflict especially poor people who live in riverside area and chinese ancestry in Jakarta. the Film make river just for setting up of film not for content issues film. Berandalan-Berandalan Ciliwung not critics for local goverment which late any important information about how to live beside the river.

Warnet (Warung Internet) As Publicsphere Represented in Indonesia (Correlation studies Student Behaviour any Campus in Jakarta-Indonesia)



a Public Sphere is a space that through the vehicle of public opinion it puts the state in touch with the needs of society. This kind of engagement in public policy is a great way to represent different views and harness a broad range of expertise, particularly on topical issues of the day. This study aims to know correlations between human interpersonal communication and information behavior student in the Warnet. Theoretical study of this research use interpersonal communication from Joseph. V DeVito, two step-level communication effect and the public sphere Habermas model. Survey research method is to test the hypothesis of correlation the study conducted on college students performed at several private universities in Jakarta with a sampel 92 people. The findings of this research suggest that interpersonal communication behavior of those who use the Warnet is more open (disclosure), sharing of information than those without. Thus the process of interpersonal communication that occurs in the Warnet can be likened to the public domain that there is such a conceptualization of Habermas.