Rabu, 13 Februari 2013

Enviromental Issues and Local Wisdom in Children National Film Indonesia (Framing analysis Film “Berandalan-Berandalan Ciliwung”)


by. Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si
Film is social live potraits because this medium always explores people customary habit. Children are treated as a special audience because of their lack of maturation and experience. Just people knows that child audience give argues by theirself for film. This Research focus for to know media agenda children national film in Indonesia. to explore any content of film this research use mass media communication theories like content analysis and agenda setting mass media Maxwell Mc Combs. the Methodology of this research use framing analysis Gamson and Modigliani models. Framing analysis exposes implisit meaning content in any scene in film. Researcher make efforts understanding film maker argumen for enviromental and local wisdom issues in this film.
    
Finding of research make knows thant any missunderstanding film maker to presented peservation issues in any scenes. There is no cause and effect logic for content of film. In the other hand this film would to make any conflict especially poor people who live in riverside area and chinese ancestry in Jakarta. the Film make river just for setting up of film not for content issues film. Berandalan-Berandalan Ciliwung not critics for local goverment which late any important information about how to live beside the river.

Warnet (Warung Internet) As Publicsphere Represented in Indonesia (Correlation studies Student Behaviour any Campus in Jakarta-Indonesia)



a Public Sphere is a space that through the vehicle of public opinion it puts the state in touch with the needs of society. This kind of engagement in public policy is a great way to represent different views and harness a broad range of expertise, particularly on topical issues of the day. This study aims to know correlations between human interpersonal communication and information behavior student in the Warnet. Theoretical study of this research use interpersonal communication from Joseph. V DeVito, two step-level communication effect and the public sphere Habermas model. Survey research method is to test the hypothesis of correlation the study conducted on college students performed at several private universities in Jakarta with a sampel 92 people. The findings of this research suggest that interpersonal communication behavior of those who use the Warnet is more open (disclosure), sharing of information than those without. Thus the process of interpersonal communication that occurs in the Warnet can be likened to the public domain that there is such a conceptualization of Habermas.

Sabtu, 01 Desember 2012

Jumat, 23 November 2012

Cia Naik Panggung

Menari adalah salah satu cara merangsang indra motorik anak, dengan menari mereka bisa memompa rasa keberanian, karsa dan karya yang ada dalam dirinya. Sayangnya tetap masih ada gender dimana anak perempuan lebih didandan daripada anak perempuan.
Salah satu cara menghargai dan rasa diharapkan adalah datang pada acara pementasan lomba nari anak, meski hari ini bejibun kegiatan tapi tetap harus hadir dan merasakan macet pula di depan sekolah Kharisma Bangsa di Pondok Cabe.


Demi narinya anak harus rela bangun pagi-pagi sekali nyiapin ini dan itu tidak memerdulikan apapun. Benar-benar hari yang istimewa, dan ada lagi.....sssttt puasa Muharamnya harus dibatalkan, takut ditawarin makanan, meski engga ada yang nawarin....Yahh udah deh kita harus bisa luwes seperti Rasulullah....Sekali lagi sayang menang kalah tidak penting yang penting kamu berani tampil.....sukses yaaa...

Bersama sebelum naik panggung...duh senangnya walau hatu deg-degan engga keruan tetapi seru lho katanya Cia dengan teman-teman.

Duh cantiknya anakku...didandanin kayak artis terkenal saja dengan pakaian baju daerah dan lagunya TOKECANG...
















 









Senin, 19 November 2012

Menulis Itu Mudah dan Bisa Kaya

Menulis itu mengalir seperti air dan bisa dilakukan dimana saja, kapan saja tanpa ada batasan dan hambatan. Apalagi di masa semua bisa dilakukan lewat telepon cerdas. Kebanyakan orang belum terbuka untuk itu bahkan menganggap bahwa tulis menulis untuk urusan kepala botak pemikir saja. Untuk itulah seminar ini dibicarakan dengan lugas


Seminar tentang menembus industri global melalui tulisan ini berusaha membuka mata semua orang bahwa menulis itu adalah unsur penting dalam berkomunikasi, apalagi tantangan terbesar orang Indonesia adalah tradisi oral bukan tulis. Tapi dengan adanya era digital yang menuntut orang memperbaharui status mereka dipaksa untuk menulis, sayangnya masalah keterbukaan dan HAKI tidak dibicarakan sehingga kebanyakan orang terjerumus ke sana, dengan artian memperkaya orang lain.

Percaya tidak ada yang dibayar 1,7 juta rupiah perbulan hanya disuruh ngetwit atau mengolah komentar di facebook, karena pengikutnya yang banyak (followers). Saya rasa itu adalah pekerjaan paling mengiurkan lho. Dan banyak yang menyebutkan tidak begitu paham kenapa dia bisa dipanggil dan menjadi pembicara di sana-sini, itu karena tulisannya di blog semacam ini. Mas Agus menyebutkan demikian dan dia rasa menulis di blog atau jejaringan sosial tidak ada salahnya dan bisa menjadi profesi. Wah-wah enak juga yaa bisa dapat gaji di sana-sini, ahh kalo gitu bisa pensiun jadi dosen deh dan bisa dibayar sana sini....hehehe

Kesadaran-kesadaran semu ini menyebabkan manusia Indonesia menjadi mahluk yang anti Lukratif maksudnya memasukkan unsur yang penuh dengan rangsangan gambar dan warna bukan tulis...wah berat omongannya. Katanya jangan percaya dengan penulis blog karena kebanyakan mereka bukan ahli di bidang itu hanya ambil dari mbah google dan asal ceplas-ceplos...waduh-waduh malu aah.....Sekali lagi silahkan renungkan sudah berapa tulisan dan opini yang anda buat hari ini??




Ok salam berkarya dari saya.....selamat berkarya sampai mati...jangan mati sebelum berkarya....


Selasa, 25 Oktober 2011

Minggu, 04 September 2011

Jebakan Retorika Politik

Oleh Ilham Prisgunanto

Rabu, 5 Nopember 2008

Jika Anda merasa yakin presiden terpilih Amerika Serikat (AS) dalam Pemilu Presiden AS adalah Barack Obama, berarti Anda sudah terjebak dalam retorika politik semu yang menyesatkan. Saat ini lonceng kemenangan Obama seolah-olah sudah dibunyikan dan pers adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas "gaung kemenangan" Obama. Jelas, hal ini merupakan beban mental yang teramat berat bagi Obama dan tim suksesnya apabila ia kalah dalam Pemilu AS.Tentu saja, kekalahan harus ditanggapi sportif dan berhati besar. Jangan malah bermusuhan atau tidak bertegur sapa seperti politisi di Indonesia saat ini. 
 
Dari hasil perhitungan akhir jajak terhadap orang yang menyaksikan debat pendapat kedua kandidat, CNN menyebutkan Barack Obama mendapatkan 58 persen suara dan John McCain hanya 31 persen. Jajak pendapat CBS menunjukkan Obama memperoleh 53 persen dan McCain 22 persen suara, sedangkan jajak pendapat New York Times-CBS memperlihatkan, Obama secara nasional menang 53 persen melawan McCain yang hanya 39 persen. Tapi, semua itu hanyalah sebuah hasil jajak pendapat yang masih penuh bias dan bisa salah dalam instrumen riset. Kita akan ingat hasil jajak pendapat yang menyebutkan Megawati lebih diidamkan daripada Susilo Bambang Yudhoyono sebelum pemilu. Namun, ternyata dalam Pemilu 2004 Megawati kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono.

Pers AS memiliki agenda tersendiri di balik kepentingan dalam perolehan pendapatan iklan dari kocek kandidat. Sepintas, mungkin kita akan teringat pada ketersinggungan pers AS atas campur tangan George W Bush selaku Presiden AS terhadap pemberitaan sepihak Perang Irak beberapa waktu lalu. Ketersinggungan itu meledak saat ini dan dilimpahkan kepada McCain yang dianggap sebagai pemegang tongkat estafet kepemimpinan George Bush. Apabila ia menang, dikhawatirkan akan membuat kekeliruan kebijakan serupa, yaitu defisit berkepanjangan dan angka pengangguran yang tinggi.

Sentimen negatif banyak yang menyebutkan bahwa kampanye Obama penuh dengan bias selebriti layaknya Britney Spears, J-Lo, dan selebriti kacangan lain. Tapi, apakah McCain lupa? AS saat ini sedang terpuruk dan perlu dibuai dalam alam dongeng yang penuh khayalan. Barack Obama yang ganteng, terpelajar, dan energik serta penuh percaya diri adalah sosok yang bisa hadir sebagai representasi anak muda yang menginginkan perubahan. Ia menjadi selebriti, itu wajar. Mengapa McCain tidak mengikuti hal itu sebelum semuanya terlambat?
 
Salah satu modal agar menang dalam retorika politik adalah menjadi populer dan sosoknya dikenal orang banyak melalui media massa, seperti seorang selebriti. Tak mengherankan kalau modal inilah yang menyebabkan selebriti tergiur untuk ikut bertarung dalam politik (pemilu atau pilkada) karena mereka merasa sudah memiliki popularitas. Retorika politik memerlukan sosok dalam popularitas media massa sebagai etalase (daya tarik pemikat) yang dijual kepada calon pemilih (voter). Terkadang isi pesan dalam retorika politik tidak diperhitungkan. Pemilih hanya tertarik pada etalase popularitas selebriti, bukan pada pesan politiknya. Tak mengherankan kalau jarang orang tahu sepenuhnya program kerja yang ditawarkan kandidat yang sedang bertarung.
Apakah retorika politik memerlukan rasionalitas dalam persuasi atau hanya permainan perasaan (emosi) dan keindahan kata-kata saja? Dalam tulisan Bruce E Gronbeck tentang retorics and politics dalam Handbook of Political Communication Research, Lynda Lee Kaid (ed) (New Jersey: Lawrence Erlbaum, 2004) disebutkan, Corax (467 SM), ahli retorika dari Sicilia, dan Isocrates (436-338 SM) dengan jelas menyebutkan bahwa retorika politik sangat memerlukan unsur rasionalitas dalam persuasi. Berbeda dengan itu, Plato (427-347 SM) menyatakan, retorika bertujuan mengembalikan kejayaan kerajaan Athena yang penuh reduksi dan nilai doxa (kebijaksanaan) di dalamnya. Retorika adalah sarana komunikasi yang hyperemotional dalam politik.
 
Bahwa paradigma retorika hanyalah sebuah sarana komunikasi hyperemotional tampaknya sudah terjadi saat ini. Retorika menyihir dan mengarahkan pikiran dan sikap orang. Seperti Obama yang menyihir dalam koridor bias selebriti sehingga orang banyak membenarkan semua perkataannya tanpa alasan dan argumen rasionalitas. Sementara itu, McCain lebih sibuk berbicara dalam konteks retorika politik yang penuh rasionalitas dan persuasi apabila dihubungkan dengan kebijakan Presiden AS terdahulu. Namun sayang, hal itu saat ini tidak diperlukan lagi oleh masyarakat AS. Pemilih sudah telanjur "jatuh cinta" pada sosok Obama melalui jebakan retorika politik.
Kesadaran akan penciptaan jebakan retorika politik ini membuat McCain berstrategi untuk mencuatkan isu-isu sensitif yang ada di masyarakat AS guna memberikan pembenaran tanpa argumentasi dan rasionalitas.

Jebakan-jebakan retorika politik itu sayangnya dikemas dalam pesan yang tidak siap, mentah, dan cenderung berisi sentimen pribadi daripada patriotisme kenegaraan AS. Akibatnya, pemilih di AS tetap menganggap itu semua adalah kampanye hitam yang menyesatkan. Pemilih bukanlah pihak yang bodoh. Mereka bisa menilai, memilih, dan merasakan, berangkat dari pembelajaran akan dunia politik. Mereka akan tetap mencari isu-isu komunikasi kunci yang dapat memuaskan dan membawa mereka ke alam fantasi yang berbeda dengan kondisi saat ini. Tapi, bagaimanapun, strategi jebakan-jebakan retorika politik kandidat McCain tidak dapat dianggap remeh dan masih berpotensi kuat mengubah wajah dalam Pemilu AS.
Fenomena tidak siap mengemas pesan politik dalam jebakan retorika politik di AS ini seharusnya dipahami para politisi, kandidat presiden, dan legislatif di Indonesia. Jika sudah dipahami, tidak akan ada lagi retorika politik di Indonesia yang kaku dengan tata bahasa terbatas, seperti komandan berbicara dengan pasukan.

Jangan ada lagi wajah-wajah kandidat dalam poster, selebaran, dan iklan politik terlihat kaku dan tanpa emosi, yang penuh riasan wajah dan dangkal dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Jadi, jangan katakan retorika politik hanya memerlukan rasionalitas dan persuasi yang tidak melibatkan emosi dan talenta diri saja.***

(sumber http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=213117)