Jumat, 17 Juli 2009

Alienasi Polisi Dalam Ranah Pers

Resensi Buku:
Judul: Komunikasi & Polisi: Dilengkapi Dengan Kasus-Kasus Mutakhir
Penulis : Ilham Prisgunanto
Penerbit : Prisani Cendekia
Tebal: vi + 156 halaman
ISBN: 978-979-19315-0-2

Harga : Rp. 42.000,- (belum ongkos kirim)
Peresensi: Siti Anisah, S.Hum





Begitu banyak berita yang memojokkan polisi, mulai dari kasus sikap netral polisi dalam politik, penyelewengan hukum hingga pada kekerasan yang dilakukan polisi. Memang semua itu adalah problematika klasik dalam penegakan hukum di seluruh dunia. Telah banyak literatur-literatur di Amerika dan Inggris dengan lugas membicarakan hal ini secara serius. Bahkan yang lebih menakutkan lagi adalah alienasi Polisi dalam pemberitaan pers yang menyebabkan terbatasnya ruang dan gerak dalam bekerja. Tentu saja hal ini akan sangat menganggu dalam upaya supremasi hukum yang menjadi syarat mutlak dalam pelaksanaan negara demokrasi yang pro rakyat.
Berlaku dan disahkannya Undang-Undang No. 2 tahun 2002 sebenarnya menandakan bahwa Polri sudah lepas dari TNI dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden untuk urusan penegakkan hukum dan pembinaan pengamanan. Hal ini merupakan babak baru dalam kehidupan bernegara bangsa Indonesia yang menjadikan Polisi sesungguhnya sebagai kekuatan ‘non combatan’ berperan mengayomi dan melindungi masyarakat sipil. Artinya bahwa polisi dikembalikan dalam bentuk aslinya, yaitu polisi sipil yang pro rakyat. Polisi adalah pasukan cerdas yang hanya tunduk kepada hukum dan keadilan bukan pada atasan. Adalah sesuatu yang salah apabila masih ada anggapan polisi adalah kekuatan yang pro penguasa dan selalu dekat dengan poros kekuasaan. Premis-premis sedemikian merupakan produk dari pandangan terhadap polisi yang militeristik dan penuh dengan klaim-klaim jiwa mengutamakan ‘la esprit de corps’ dalam pasukan yang tunduk pada sistem komando saja.
Bagaimana dengan sikap polisi? Apa yang ada di dalam diri dan perasaan mereka dalam memandang pers? Demikianlah buku ini ingin mengangkat dan mengungkap fakta sesungguhnya yang akan dilihat dari kacamata polisi. Inilah keunikan buku ini semua kasus dan permasalahan aktual dilihat dari kacamata yang berbeda dan berlawanan dari agenda pemberitaan pers yang sudah terlanjur menguasai ranah publik saat ini. Polisi adalah militer, identik dengan kekuasaan, korup, ‘mata duitan’, tidak mampu berbicara di depan publik dan masih banyak lagi. Demikianlah anggapan-anggapan ‘miring’ tentang polisi dalam pemahaman alam kognitif orang yang menguasai ranah publik saat ini. Polisi adalah mengerikan, menakutkan dan perlu dihindari. Ada istilah menggunakan polisi adalah ‘kerok’ karena akan menambah masalah bukan menyelesaikan. Jangan sekali-sekali bermain dan dekat dengan polisi. Posisi ini semakin membuat polisi terasing dan teralienasi dari masyarakat atas klaim-klaim keliru tersebut.
Agenda pemberitaan yang sedemikian akhirnya memojokkan gerak dan kerja polisi sebagai kekuatan penegakkan hukum. Polisi tidak dianggap penting dan hanya sebagai aparatus negara yang tidak penting. Genderang pemberitaan dalam konteks komunikasi begitu bernafsu menelanjangi, mengkritik dan mengkoreksi polisi habis-habisan dalam semangat komoditas pemberitaannya. Pers mengantarkan pembaca pada ‘jebakan’ isu-isu miring yang menjerumuskan polisi untuk kepentingan pribadinya. Alhasil apa yang terjadi, adalah semakin terpuruknya citra Polri di mata masyarakat dalam penanganan kasus. Bukti nyatanya ada satu kejadian dimana anggota polisi dipukuli warga ketika melakukan pengerebekan di tempat peredaran narkoba. Sungguh hal ini mengindikasikan negatif bahwa Polri tidak ada bedanya dengan ‘maling’. Sama juga dengan beredarnya film tentang kekerasan polisi di Palu yang menyentak kognitif masyarakat tentang begitu brutalnya polisi. Begitu menyedihkan dan mengenaskan melihat kenyataan tersebut.
Dari bab 1 buku ini sudah jelas dengan gamblang diangkat kasus pemberitaan di media massa yang begitu arogan dalam memberitakan polisi yang ada memojokkan Polri dan menyamakan dengan militer, dapat dilihat dari pemberitaan ledakan bom Bali yang lebih banyak menggunakan sumber militer daripada Polri sendiri (hal. 4). Apakah urusan dan tugas polisi hanya menyoal pertahanan dan keamanan dalam negeri saja? Demikian buku ini sepertinya ingin mengupas dan mengangkat isu-isu lokal sosial dan kemasyarakatan yang seharusnya diemban oleh polisi. Pada bab 2 buku ini diangkat isu-isu polisi dan bencana alam yang mengupas habis apa tugas dan fungsi polisi dalam bencana alam yang sesungguhnya? Tulisan yang terinspirasi dari Allen P. Bristow tentang Police Disaster begitu mengejutkan bahwa kenyataannya tingkat komando puncak (tertinggi) dalam penanganan bencana alam ada di polisi (hal. 6). Dengan demikian tidak perlu ada lagi ketakutan tentang kesemrawutan dan hilangnya hak-hak sipil pasca bencana alam (seperti kejadian pasca tsunami NAD Aceh Nias 4 tahun lalu).
Buku ini dengan cerdas melalui kepekaan penulis memprediksikan tentang Komunikasi politik Indonesia pasca pemilu 2004 (Pemilu langsung). Penulis dengan kemampuan komunikasi yang mumpuni mampu menarik persoalan krusial retorika dan membuat kajian teoritik baru menyoal pesan dan sosok (hal. 31). Pesan dan sosok adalah dua unsur yang bermain dan berperan penting dalam mengarahkan voter dan masyarakat dalam memilih dan menggambarkan tentang seorang calon (Calon presiden, wakil presiden dan legislatif). Dengan lugas penulis menyebutkan bahwa sosok yang membawa nuansa kelokalan begitu kental, sehingga mampu dengan mudah mengarahkan orang untuk berbenturan satu dengan yang lain. Potensi konflik inilah yang seharusnya ditanggapi dengan serius oleh Polri dalam penanganan pengamanan Pemilu langsung (hal.41).
Di samping itu buku ini juga memiliki kemampuan analisis yang tajam dalam menanggapi kasus-kasus yang bertaraf internasional, yakni kejahatan transnasional tentang terorisme. Pada Bab 10 tentang Mengapa Indonesia Dipilih Sebagai Medan Pertempuran Teroris? Dengan gamblang menyebutkan bahwa teroris di dunia ini begitu terbantu dengan adanya publikasi besar-besaran dari media massa (pers) (hal. 59). Kerap pers memfasilitasi dan melebih-lebihkan tindakan teroris sehingga terkesan berpihak kepada pihak teroris. Kerja pers yang menghalang-halangi polisi dan klaim-klaim pemberitaan yang memojokkan Polri demikian menganggu dalam pelaksanaan tugas di lapangan. Penulis menganalisi Kegerahan Polri terhadap sikap pers ini juga mengikuti pemahaman Robert H. Kupperman dan Darrell M. Trent dalam buku Terrorism: Threat, Reality, Respon (California, 1979) (hal.60).
Kasus-kasus terorisme tidak hanya bom tetapi juga yang lebih besar seperti penculikan Direktur Perusahaan Transnasional dan pemboikotan fasilitas umum. Solusi yang Penulis berikan sesuai dengan semangat kebebasan pers (free press) tidak memberikan penekanan dan intimidasi kepada pers dan jajaran redaksi, melainkan menyerahkan semua kepada sikap arif dan bijak pers juga awak jurnalis untuk mendewasakan khalayak bukan membodohi dan menghalang-halangi berita. Sebab memang tanggungjawab yang besar Pers dan Pemerintah adalah sama melek terhadap media massa dan membuat masyarakat bijak dalam mengkonsumsi dan memilih sumber informasi terpercaya.
Kemampuan buku ini melompat-lompat dan terkadang memihak polisi, kadang tidak memihak bahkan terkadang netral terlihat jelas sekali. Penulis dengan cerdas mampu melakukan itu dan jelas ini memerlukan kemampuan berpikir yang sistematis dan kepekaan luar biasa dalam melihat masalah dari kacamata komunikasi. Lihat saja dalam tulisannya di bab 8 yang membicarakan Tindakan Menyimpang & Stress Pada Polisi (hal. 49). Penulis menyebutkan bahwa buruknya sikap polisi tidak lepas dari dua masalah sesuai dengan teoritik yang diambil Roberg dan Kuykendall (California, 1993), yakni; teori kecenderungan (Predispositional theory) dan teori sosialisasi (Socialization theory). Teori kecenderungan menganggap sikap polisi sedemikian karena memang sudah sifat dasar anggota sedemikian dan tidak bisa diubah. Berbeda dengan itu teori sosialisasi menyebutkan bahwa sikap itu terbentuk dari hasil interaksi antar anggota Polri, baik dalam pergaulan sekitar, maupun antar teman sejawat. Titik kunci adalah penyaringan pendidikan awal polisi merupakan titik kunci munculnya sikap menyimpang ini dan stress pada polisi.
Tidak berpihaknya penulis pada polisi juga terlihat dalam pembahasan bab 11 tentang Kontroversi Pemberantasan Kejahatan Judi (hal. 65). Dengan berani penulis menyatakan bahwa pemberantasan kejahatan judi merupakan sesuatu yang sulit karena menyoal permasalahan yang lebih besar, yakni masalah pertarungan budaya. Oleh sebab itu sulit untuk membasmi judi yang sudah mengakar dan merasuk dalam tata kultur masyarakat Indonesia sejak dahulu. Tentu saja polisi harus hati-hati menangani masalah ini karena bisa menjadi bumerang memperburuk citra bila tidak dilakukan secara tegas dan serius. Demikian juga bila dilihat dari pembahasan Polmas dalam bab 14 tentang Perpolisian Masyarakat, Citra dan Public Relations, yang menyebutkan bahwa program Polmas yang dijalankan Polri masih minim unsur komunikasi didalamnya. Alhasil program tersebut menjadi sulit diterapkan karena modal Polmas adalah berinteraksi dengan masyarakat secara luwes yang akan meningkatkan citra Polri sendiri.
Guna memberikan posisi netral penulis mengajukan analisis akademik penelitian (riset) yang menjawab secara obyektif dan tidak berat sebelah. Lihat saja pada Bab 13 yang membahas Pilkada Mengapa Rusuh? Penelitian kuantitatif dengan pendekatan analisis isi pemberitaan model konvensional ini diajukan penulis dengan hasil akhir yang cukup mengejutkan, bahwa narasumber dan keberpihakan pemberitaan tidak seimbang bahkan menyudutkan kerja dari KPU/KPUD/Panwaslu dan Polisi sendiri dalam pelaksanaan dan pengamanan. Inilah yang bisa membuat preseden buruk bahwa Pilkada pasti rusuh dengan klaim-klaim negatif terhadap pihak-pihak pelaksana dan penyelenggara Pilkada.
Satu yang paling menarik dalam buku ini yang menunjukkan tradisi keilmuan komunikasi sesungguhnya adalah adanya riset sempurna Agenda Setting model Maxwell Mc Comb dan Newbold yang pernah ‘booming’ era tahun 1980-an hingga dekade 1990-an. Riset serius dalam model kuantitatif ini diajukan penulis yang menunjukkan begitu mumpuninya penulis dalam bidang komunikasi yang berangkat dari tradisi positivistik dalam ranah mazhab behavioristik (hal.133). Kemampuan penulis sebagai seorang kandidat doktor dan pengajar tetap komunikasi sosial di perguruan tinggi ilmu kepolisian sudah teruji dengan ditunjukan begitu terampilnya membuat instrumen desain riset yang ketat dan taat asas sesuai kaidah-kaidah akademik keilmuan komunikasi dasar.
Pemaparan riset komunikasi agenda setting yang begitu ketat dan sarat obyektivitas ini merupakan hal yang berani dalam upaya mencari realitas sesungguhnya bagaimana kerja Polri apakah sudah benar atau tidak? Pemilihan sampel dari Divisi Humas Polri dengan disandingkan dengan masyarakat Jakarta, Bandung dan Depok adalah sesuatu yang spektakuler karena diketahui Bandung dan Depok adalah daerah dianggap penuh dengan kantong-kantong basis kekuatan dan pelaku teroris. Hasilnya ternyata, masyarakat sudah sepakat teroris adalah kejahatan dan perlu diperangi yang sesuai dengan pendapat dari Divisi Humas Mabes Polri. Dengan demikian Mabes Polri sudah melakukan tugasnya dengan baik dan sesuai mengarahkan pandangan masyarakat terhadap kejahatan terorisme.
Sesuai dengan pepatah tiada gading yang tak retak, buku ini memang masih jauh dari sempurna. Hal ini terlihat dari buku ini begitu syarat dengan nilai akademis dan keilmuan, sehingga cukup sulit untuk pembaca awam memahami kasus-kasus mutakhir polisi bila tidak pernah mengikuti dan tahu ilmu kepolisian dan perkembangan terbaru. Oleh sebab itu buku ini sangat cocok untuk mereka calon sarjana ilmu kepolisian, atau mereka yang minimal sudah pernah bertugas di lapangan. Meski tulisannya cukup populis dan enak dibaca tetapi bobot muatan nilai bacaan begitu berat.
Hal lain yang perlu dicermati adalah, rujukan penulisan buku ini terlalu banyak mengambil dari literatur-literatur Amerika Serikat dan Inggris yang diketahui tidak bersistem polisi nasional, melainkan departemen. Pemahaman sistem desentralisasi ini tentu saja menjiwai pula perspektif keilmuan studi kepolisian yang ada. Seperti kita ketahui sistem sentralisasi dan desentralisasi sangat berbeda, sehingga buku ini terkadang terlalu bombastis dan tidak membumi dan hanya sesuai pada sistem desentralisasi. Seharusnya penulis buku ini berkiblat pada literatur-literatur polisi Jepang yang bersistem polisi nasional (National Police) seperti Indonesia. Seperti yang dilakukan dalam pengembangan Koban-Koban dalam sistem Perpolisian Masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar